Provinsi Jambi memiliki keberanekaragaman budaya termasuk
salah satunya macam-macam suku. Salah satu suku di Jambi yang banyak dikenal
oleh masyarakat Indonesia adalah suku adat Anak dalam. Suku Anak Dalam di
provinsi Jambi memiliki sebutan nama untuk mereka yaitu Kubu, suku Anak Dalam
dan anak Rimba. Untuk sebutan kubu bagi suku Anak Dalam memiliki arti yang
negatif. Kubu memiliki arti menjijikan, kotor dan bodoh. Panggilan kubu bagi
suku anak dalam pertama kali terdapat di tulisan-tulisan pejabat kolonial. Arti Anak Rimba adalah orang yang hidup dan mengembangkan kebudayaan
tidak terlepas dari hutan, tempat tinggal mereka.
SEJARAH ASAL USUL SUKU ANAK DALAM
Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi
Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu: Sejak Tahun 1624, Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi yang
sebenarnya masih satu rumpun memang terus menerus bersitegang dan pertempuran
di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat
ini ada dua kelompok masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat
tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi
Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh
ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan
palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo
matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid
(campuran wedda dan negrito).
WILAYAH DAN POPULASI SUKU ANAK DALAM
Suku anak dalam memiliki wilayah hidup yang cukup luas
di Sumatera. Mulai dari Palembang hingga Riau dan Jambi. Namun, memang paling
banyak terdapat di daerah Jambi. Berdasarkan hasil survei Kelompok Konservasi
Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di
TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan
TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin,
dan Sarolangun.
MATA PENCAHARIAN SUKU ANAK DALAM
MERAMU
Meramu adalah mencari dan
mengumpulkan hasil hutan, seperti: getah melabui, getah jelutung, getah damar,
getah jernang, dan rotan. Mereka menyebut kegiatan ini berkinang atau berimbo.
Caranya dengan beranjau, yaitu berjalan-jalan atau melakukan pengembaraan.
Menemukan sesuatu yang dicari, apakah itu getah melabui, getah jelutung, dan
atau rotan adalah sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan tuah
(keberuntungan). Hal itu disebabkan banyaknya jenis pohon, sehingga seringkali
menutupi pohon yang dicari (tidak terlihat). Relatif sulit dan atau mudahnya
menemukannya itulah yang kemudian membuahkan adanya semacam kepercayaan bahwa
pohon-pohon tersebut mempunyai kekuatan gaib.
BERBURU
Senjata yang mereka gunakan
dalam berburu adalah tombak. Tombak biasanya digunakan berburu
nangku (babi hutan), kera, rusa (kancil), napu, kijang (menjangan). Selain
tombak mereka juga menggunakan batang pohon yang berukuran sedang dan berat
(garis tengahnya kurang lebih 30 cm), khususnya untuk menangkap gajah. Sementara, untuk menangkap badak, mereka membuat parit yang panjangnya
10-15 rentangan tangan orang dewasa (depa). Parit yang lebarnya kurang lebih 1
meter ini semakin ke ujung semakin dalam (kurang lebih setinggi manusia
dewasa). Dengan demikian, jika ada badak yang memasukinya, maka ia akan
terperangkap karena tidak dapat meloncat atau berbalik.
MENANGKAP IKAN
Kegiatan lainnya yang ada kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan hidup adalah menangkap berbagai jenis ikan, termasuk udang dan ketam
di sungai, dengan peralatan: pancing, jala, tombak, perangkap ikan (kubu-kubu),
dan pagar-pagar ikan. Terkadang mereka nubo, yaitu menggunakan racun dari
akar-akar nubo.
BERLADANG
Sistem perladangan
yang diterapkan oleh orang Kubu adalah berpindah-pindah. Berladang adalah suatu proses. Sebagai suatu proses maka mesti
dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Ada empat tahap yang mereka
lalui dalam penggarapan sebuah ladang. Tahap yang pertama adalah pembukaan ladang. Tahap yang kedua
adalah penebangan pepohonan. Peralatan yang digunakan hanya berupa parang dan
beliung. Tahap yang ketiga adalah penanaman bibit. Sistem yang
digunakan adalah tugal, dengan cara dua atau tiga orang laki-laki memegang
sebatang kayu kecil yang kira-kira panjangnya 1,5 meter yang salah satu
ujungnya runcing. Tahap keempat (terakhir) adalah menuai. Tahap ini
dilakukan setelah padi menguning (kurang lebih setelah berumur 5 bulan).
Caranya, padi yang telah menguning itu dipotong gagangnya dengan alat yang
disebut tuai (ani-ani). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.
Sebelum disimpan dalam lubung, padi tersebut dikeringkan (dijemur) agar bisa
tahan lama.
SUMBER
REFERENSI
Comments
Post a Comment